Munara: Belakang rumah nenek emang indahnya khan maen...



Tanggal pendakian I: 1 Januari 2015
Tanggal pendakian II: 10 Januari 2015

Gue nanjak Munara ini dua kali. Apa itu Munara? Di manakah gerangan? Hokeh, gue akan jelasin. 

Jeng-jeng...

Munara itu gunung kecil. Lo bisa nanjak ini dan turun lagi hanya dalam waktu sehari. Katanya sih tingginya 1110 mdpl sekian. Tapi ternyata starting pointnya udah tinggi, jadi kalau diukur dari start mendaki, palingan cuma kira-kira 367 mdpl. Letaknya di Rumpin, Bogor.

Yang menyebalkan dari gunung ini adalah, konon katanya jalanannya rusak parah, dan katanya ga ada akses angkot kesana.

Tapi, gue sebagai anak backpacker ngeteng sejati, memutuskan untuk nyari rute angkot ke gunung Munara. Gue bertanya pada banyak pihak, tentang gimana caranya ke Munara tapi naik angkot. Dan kebanyakan mereka nyaranin untuk bawa motor. Hello, gue ga bakal nanya soal angkot kalo ujung-ujungnya jawabannya naik motor. (-_-")

Akhirnya ada satu jawaban memuaskan dari member grup Pendaki Indonesia di FB. 


"Naik angkot 03 trayek Depok-Parung dari stasiun Depok Baru. Turun di Pasar Parung, naik angkot ke arah Rumpin. Bilang aja ke abangnya mau ke gapura Munara."

Dengan berbekalkan informasi seadanya, gue ngajak temen-temen kantor untuk ikut sama gue buat survey. Jadi gue berencana nanjak Munara dua kali. Yang pertama itu tanggal 1. Tanggal 1 ini buat survey untuk bawa anak-anak grup WA yang kepengen ke Munara tanggal 10nya.

Temen-temen kantor itu terdiri dari Ita dan Mila. Mereka pengen ikut dengan alasan pengen belajar naik gunung. Mereka gue perbolehkan ikut dengan satu kondisi: kalau ga ketemu gunungnya, siap-siap nyasar.

Dan gue udah wanti-wanti si Mila untuk ga kesiangan. "Pokoknya lo udah nyampe di stasiun jam 7 ya." Dan Mila minta dibangunin jam 4, yang gue iyain.

Hari H tiba. Gue udah bangun pagi dan diantar bokap ke stasiun Bekasi. Gue berharap si Ita udah nyampe duluan. Ita yang paling rajin bangun pagi di antara kita karena biasanya abis subuhan dia ga tidur lagi.

Waktu menunjukkan hampir pukul 7. Dan pas Ita ditelpon ternyata dia baru otw jalan dari rumahnya.

Damn. Gue lupa dia lagi 'ga solat' hari itu. Maka kesianganlah dia. Kalo tau dari awal, gue bisa bangunin dia sama kayak gue bangunin Mila.

Ngaret. Mila berkali-kali ngewatsap kita berdua, yang kita sengaja diamkan. Kadang gue jawab, "Lagi di jalan. Bentar lagi nyampe Depok."

Padahal, nyampe stasiun Manggarai aja belom HAHAHAHA!

Kita sampe molor sejam. Sampai di st. Depok baru jam 8. Dan Mila ngomel-ngomel.

"Serem tau, tadi ada bapak-bapak yang ngeliatin terus gitu. Kan sayah takut diculik!"

"Huahahahah ga bakal ada yang nyulik lo. Rugi juga dia. Lo nya bawel."

Anyway, kita naik angkot 03 berdasarkan petunjuk. Di dalem angkot berkali-kali gue ngeliatin jam.

"Yaelah takut amat telat, mba!" kata si Mila.

"Bukan cuy. Gue lagi bikin prakiraan waktu. Buat itin nanjak tanggal 10."

Sampe di Pasar Parung cuma setengah jam ternyata. Kita langsung lanjut angkot ke Rumpin. Sejam lah kita di angkot yang ini. 

Jam 10 kita sampai di Desa Kampung Sawah. Ini desa yang jadi start pendakian. Masuk gunung kena charge 2500 per orang. 

Pendakian pagi itu lumayan cerah. Ga cerah-cerah banget sih, mendung dikit. Dan treknya becek parah. Lumpur tebel banget dan rawan bikin kepeleset. Ada satu waktu si Mila jalan di depan gue dan dia kepeleset ke belakang. Gue refleks megangin dia, tapi karena gue sendiri pun jadinya ga seimbang, maka peganganlah gue sama tanaman sekitar, yang ternyata BANYAK DURINYA!

"Akhh!!!"

"Kenapa mba?" 

"Gapapa. Udah buruan jalan."

Salah gue juga sih, nanjak gapake sarung tangan. 

Well, ini emang kali pertama gue nanjak ga bawa persiapan apa-apa. Karena gue berangkat dari rumah ortu di Bekasi, sedangkan semua outdoor gears gue ada di kosan. Cuma sendal satu-satunya outdoor gear yang ada di rumah.

Mila cuma bingung ngeliatin gue dan lanjut jalan. Yaiya lah gue ga bilang apa-apa. Tar tuh bocah panik malah jadi ribet.


Ini juga kali pertamanya, gue nanjak 'bawa orang'. Yah meskipun yang gue ajak adalah temen sendiri, dan cuma dua orang. Gunungnya juga ga bisa dibilang gunung. Orang lebih nyebut Munara sebagai bukit. 

Tapi meskipun ini gunungnya sependek bukit, gue banyak belajar.

Belajar mengatur waktu. Belajar bikin itinerary kecil-kecilan. Belajar megang tanggung jawab atas dua orang yang gue bawa. 

Dan satu hal lagi, yang sebenarnya selalu gue lupakan sendiri kalo naik gunung sama orang lain: belajar untuk mengikuti safety procedure.

Safety yang kayak apa? Ya misalnya dari perkara jas hujan. Gue meminta Ita dan Mila untuk jangan lupa bawa jas hujan. Dan gue pun juga bawa, karena kan harus jadi contoh. Padahal kalo nanjak sendirian, yaelah, ujan ya tinggal cari warung. Lagian setelah cari info sana-sini, Munara itu ternyata banyak warungnya yang bisa ditumpangin buat neduh. Ato malah ujan-ujanan aja sekalian.

Anyway, atas saran si penjaga pos simaksi, kita dtawarkan untuk dipandu oleh dua orang lokal. Pas kenalan, ternyata mereka adalah anak Gemapala sekitar yang sedang melakukkan opsih di Munara. 


Pos 1, 2, 3... dilalui dengan cepat. Ada perbedaan dari cara Mila dan Ita yang jalan di depan gue. Mila, yang notabenenya udah pernah nanjak ke Gede dua tahun silam, lebih ngos-ngosan dibandingkan Ita yang... buset, udah kayak ibu-ibu bawa troli di supermarket; ngebut. Meskipun sedikit-sedikit hilang keseimbangan, tapi Ita terus maju pantang mundur, dibandingkan Mila yang tiba-tiba jongkok di pinggir jalan.

"Heh, bangun lo." kata gue, militer.

"Bentar..."

"Kalo mau istirahat jangan di sini. Cari yang landai."

Tapi Mila ga bergerak juga. Gue tarik tangannya. "Ntar kelamaan di sini kesambet loh." 

Dan Mila pun bangun. Gue boongin mau aja HAHAHAH!

Di Pos 3, kita diajakin untuk lewat jalur alternatif. Jalur alternatif ini terletak di selipan dua batu besar yang ketutup sama akar pohon tumbang. Ga bakal keliatan kayak jalur. Mungkin kalo ga dibilangin gue juga ga bakalan ngeh kalo lobang sempit itu adalah jalur.

Pas lewat situ, kita menyusuri tanaman rumput setinggi betis bawah. Dan, ketemu sama anak-anak komunitas rappelling yang lagi main disitu. Ngeliat mereka, gue juga jadi pengen nyoba. Sempet diajakin, tapi karena tujuan utama kita adalah nanjak Munara, jadi gue tolak tawaran tersebut. Apalagi gue bawa Ita Mila yang belum tentu kepengen main gituan. Tapi akhir-akhir ini gue jadi kepikiran terus mau nyoba kegiatan outdoor lain selain naik gunung. Begonya gue, gue lupa minta nomer kontak mereka. Padahal kali aja bisa janjian bareng di Munara saat gue nanjak sendirian, dan diajakin main. Tch. (-_-)

Kita misah sama dua orang Gemapala saat di Pos 4, karena mau istirahat dulu. Di pos 4 ada warung yang jual mie rebus dan berbagai minuman. Sama layaknya seperti warung-warung di gunung-gunung lainnya, warung di Munara harganya sama 'nyekek leher'-nya.

Eh, pas lagi mesen mie rebus, pundak gue tiba-tiba dicolek sama seseorang. 

"Nah kan, ketemu juga di sini!"

Seorang cowo berkulit cokelat gelap. Gue menocba mengingat-ingat... siapa ya?

"Sama siapa ke sini?" tanyanya.

"Ah... sama temen..." kata gue, sambil terus usaha buat inget-inget. Tapi kemudian, cowo itu memanggil seorang temennya.

"Nia! Ada Pisces nih!"

Nia...?

... oalah!! Si cowo itu Bang Toni ya ternyata! HAHAHAH!


Bang Toni, alias Abang Cebong dari KPK Jaksel. Jangan salahkan gue kalo lupa, karena sebenernya gue ngumpul sama anak-anak KPK Jaksel juga cuma sekali; pas nanjak ke Prau September 2014. Emang pas malam sebelum ke Munara gue sempet tau kalo anak-anak KPK juga mau kesini buat taun baruan, tapi serius gue ga ngeh, dan ga nyangka juga sebenernya kalo bakalan ketemu. Kenapa ga kenal muka? Soalnya muka Bang Toni di foto-fotonya di FB itu selalu pakai buff di kepala. Termasuk pas nanjak Prau dulu. Baru kali itu di Munara gue liat dia tanpa aksesori apapun di kepalanya.



Nia datang dan menyapa gue, diikuti dengan Bang Ade, Tari, dan teman-teman KPK Jaksel (atau yang disebut SE (South Elite) sekarang) lainnya. Dan gue diajakin main rappelling di batu dekat pos 4. Lupa gue itu namanya batu apa. Kira-kira tingginya 10 meter. Tapi karena sedikit dikejar waktu, gue Ita Mila cuma bisa ikutan pas nanjak batunya doang, pas turunnya kita jalan sendiri.

Selesai makan, kita lanjut ke puncak. Gerimis mulai turun dan kita pakai raincoat masing-masing. Agak lost track di tengah perjalanan. Gue meminta Ita, kalo ketemu orang di tengah jalan, tanya arah.

Ga lama, kita ketemu dua orang, cowo cewe, di pojokan membelakangi batu besar di sebelah kanan. Cowo dan cewe. Berdua. Di pojokan. 

Itu dua orang pacaran?

Dan di sebelah kiri (which is yang berarti di depan pasangan itu), ada sekelompok kambing lagi ngaso nyantai minum kopi.

Oh, ada dua orang pacaran di sebelah kambing. Okeh, fine.

"Mas, ke puncak arah mana ya?"

Tiba-tiba gue denger suara Ita bertanya ke si Cowo. Buset deh si Ita, nanya orang main samber aja. Orang lagi pacaran gitu, kan jadi kaga enak (-_-")

Si cowo pun ngasi tau arah ke puncak. Dan ga lama, kita bertiga sampe. Ga nyangka juga kalo gunung sependek Munara ternyata ada pelat tulisan "Puncak"nya juga. Ada dua lagi. Gue pun langsung foto-foto. Dan di sini ada dua batu. Orang sih bilang ini namanya batu loncat, karena pas banget kalo mau foto di sini sambil berpose lagi loncat dari batu satu ke yang lainnya. Gue kira deket yah batunya, eh ternyata mau dicoba jauh juga yah, ga berani sayah HAHAHAH! Yah daripada pas loncat terus kepeleset.

Si pasangan yang tadi Ita tanyain arah akhirnya sampe juga di Puncak. Dan entah gimana mulainya, kita jadi ngobrol akrab, tanpa kenal nama. Diketahui pada akhirnya gue tanya nama, mereka adalah Anggi dan Bang Onge. Itu lah yang biasanya kejadian di setiap pendakian yang gue alamin; basa-basi tanya asal, ngobrol soal gunung, akhirnya ngobrol seru, dan baru pada akhirnya tanya nama dan kenalan. Ujung-ujungnya saling cari akun FB masing-masing. Makanya nih semenjak gue punya hobi nanjak temen-temen di FB kebanyakan temen yang doyan ngetrip semua.


Yang tadinya naik bertiga, pas pulang jadinya berlima, karena ternyata arahnya sama. 

Tahun baru di 2015 ini buat gue jadi berkesan, karena ini pertama kalinya gue ngabisin taun baru ga duduk diem di rumah.

Pendakian berikutnya yaitu tanggal 10. Kali ini sama anak-anak grup jalan-jalan. Kita konvoi berangkat pakai kendaraan pribadi masing-masing dari stasiun Depok Baru. Gue nebeng motornya Bang Ribut. sengaja gue ga gabung di mobil sama yang lain meskipun masih ada seat. Selain karena kadang gue ga tahan sama bau interior mobil, motoran jarak jauh itu menurut gue emang lebih seru. jadi kayak touring gitu, biarpun pantat gue pegelnya setengah mati. Nasib punya pantat tajem. Tapi asik, serius. Di jalan, gue dan Bang Ribut banyak ngobrol tentang pendakian masing-masing di bulan Desember. Kebanyakan kita ngobrolin tentang si abang yang baru aja nanjak Sindoro dan dikerjain sama pendaki nyubi sok tau.



Sambil bermodalkan GPS, kita nyari jalan ke arah Rumpin. Rute angkot sama kendaraan pribadi emang bisa beda. Makanya kita buka GPS meskipun bisa aja sih ngikutin angkot yang ke arah sana. 

Tapi justru ternyata ngikutin GPS kita malah mau sempet nyasar. Kalau di GPS, dari sekolah SDN belok kiri, which is akan tembus ke basecamp Munara lewat belakang yang jalanannya rusak parah ancur beud. Tapi kalo belok kanan, jalanannya ga separah itu karena akan masuk dari gapura biru yang ada di Desa Kampung Sawah. Jalanannya lebih bisa buat dilewatin manusia ketimbang yang belok kiri.

Dengan jarak pendakian kedua yang cuma seminggu dari yang pertama, gue masih hapal betul ada apa-apaan aja di trek Munara ini. Bedanya cuma, di tanggal 10 ini matahari bersinar terik. Cuaca lagi cerah-cerahnya, dan trek lagi kering-keringnya. Ga kayak pertama yang becek ancur, trek Munara kali ini asik banget buat lari-larian. 


Kegiatan yang dilakukan ga jauh beda sama pendakian pertama. Bedanya cuma pas di pos 3 gue ga lagi melewati jalur alternatif yang ada orang main rappelingnya itu, tapi lewat jalur resmi. Jadi gue ga liat komunitas rappeling lagi di Munara.


Waktu di pendakian pertama, saat gue naikin batu setinggi 10 meter di pos 4, cuacanya berkabut. Di pendakian kedua, gue naikin batu yang sama. Cuaca lagi cerah-cerahnya. Gue keinget, waktu pertama ketemu Bang Onge dan kita bercanda-canda, dia sering nyebut gunung sebagai belakang rumah nenek. saat gue nanjak batu di pos 4 itu dan ngeliat pemandangan Bogor yang hijau, garis horizon di ujung, dan langit biru penuh awan putih di atas...

Ternyata abang Onge bener, belakang rumah nenek emang indahnya khan maen...

Komentar

  1. Thanks yaahh buat petunjuk arahnyaa non icesss... ;-)

    BalasHapus
  2. sist ,tarif angkot dari stasiun ke pasar parung dan pasar parung ke rumpin berapa yaa ?soalnya pernah backpackeran ketempat yg baru pertama kali didatengin dan gatau tarif angkotnya kadang suka dimahalin sama abangnya ...
    makasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. waktu itu 8rb dari Depok Baru ke Ps. Parung. Trus dari Ps. Parung ke depan gapuranya 10rb. Total 18rb.

      Entah yang bayar 8rb itu sengaja dimahalin apa ga sama abangnya krn saya juga pertama kali waktu itu kesana, mungkin bisa dicoba bayar kurang dari itu. Pokoknya ga lebih dari 8rb.
      Kalo yang 10rb itu emang lumayan jauh, dan abangnya baik mau nunjukin yang mana gapuranya, jadi it's worth. :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang baru. Blog baru. Hidup baru.

Papandayan: karena esensinya naik gunung adalah perasaan deg-degan saat pipis di semak-semak.

3 Summits PaGuCi part 3: "Katanya mau mati di gunung?"